Aphrodite dan Wanita Lainnya
Langkahnya terbilang cepat dan
mantab. Dari balik meja kopi aku memandangnya dan sedikit merasa gelisah.
Bagaimanapun juga, secara tidak langsung, ia menjadi korban kami. Dalam
beberapa langkah, Ia sudah berada di hadapanku.
“Rumi?”, tanyanya. Setelah kuanggukkan
kepalaku, Ia langsung menjatuhkan beban tubuhnya pada kursi di hadapanku.
Wajahnya yang tak bernoda
sedikitpun, menunjukkan wanita kelas atas yang terbiasa hidup tanpa kerja
keras. Rambutnya tergulai lemas di bahunya, dengan kacamata yang menampilkan
kecerdasan di balik kepalanya. Ia lulusan sebuah universitas di London,
seingatku.
“Aku Paris.”, ujarnya. Tentu saja
aku tahu. Ini yang kedua kalinya ia memperkenalkan diri. “Kamu tahu maksudku
mengajakmu bicara?”, tanyanya.
“Aku tidak tahu keseluruhannya.
Namun nampaknya aku dapat menebak. Mengenai Rendra?”
“Tepat! Apa kau pikir, aku tidak
akan mengetahui hubungan kalian?”, tegasnya.
Aku tersenyum, nampaknya membuat
wanita berparas anggun di hadapanku semakin kesal. “Aku bahkan tidak tahu
hubungan apa yang kami punya?”
“Ayolah! Akui saja! Kau cukup
gila untuk bermadu kasih di kediamannya.”.
“Ya, kami cukup gila untuk dapat
menebak kedatangan orang tua nya di siang bolong.”.
“Apa kau tahu dia bertunangan?”.
“Apa aku harus tahu?”, jawabku
sambil tertawa. Ia mendengus, ingin marah namun tertahan oleh si pembawa baki
yang membawakan secangkir kecil Americano.
“Jadi, sudah berapa lama kamu
mengenal Rendra?”
“Tidak cukup lama. Mungkin
beberapa bulan?”, ujarku sambil mengingat-ingat.
“Bertemu di?”
“Apa guna interogasi macam ini?
Akankah membuat perbedaan? Kenapa tidak kau tanya Rendra?”
“Dimana kamu bertemu Rendra?”,
tanyanya mendesak.
“Dari sebuah aplikasi kencan. Dia
menarik, pintar, dan nampaknya kami memiliki beberapa persamaan.”
“Demi Tuhan Rumi! Bagaimana
mungkin kau tega menghancurkan ikatan pertunangan? Bukankah kau juga wanita?”
“Demi Tuhan juga Paris. Aku tidak
bermaksud memilikinya atau merebutnya.”
“Lalu mengapa kau bercinta
dengannya?”. Suaranya bergetar, matanya menunjukkan kegelisahan. Gelisah akan
jawabanku yang bahkan belum terucap. Ia menggesekkan batang korek, dan
menyalakan batangan putih yang berada di antara bibir merahnya.
“Kami tidak bercinta, Paris.
Hanya bersenang-senang.”, jawabku.
“Bersenang-senang di atas
ranjang? Huh! Apa bedanya?”
“Karena tidak ada cinta di antara
kami. Engkau tahu, cintanya hanya untukmu.”
“Membujukku untuk memaafkan
kalian?”
“Tidak. Kami tidak bersalah.
Tidak ada gunanya meminta maaf.”
“Sudah gila kau!”, ujarnya sambil
menghembuskan asap. Dia mengalihkan wajah pada jendela kaca di samping kami.
“Apa arti namamu Rumi?” tanyanya sambil memandang kosong deretan mobil yang
bergerak sedikit demi sedikit.
“Berarti daya tarik, dalam bahasa
jawa.”
Ia mendengus, tertawa kecil
mengejek, masih melekatkan matanya pada keadaan di luar warung kopi ini. “Tentu
saja. Kamu mengingatkanku akan Aphrodite.”
“Dewa kecantikan?”
Ia melirik ke arahku. “Ya, Kau
pasti jelmaan-nya. Kau cantik Rumi. Kau mampu membuat lelaki bertekuk lutut
hanya dengan lirikanmu. Tapi kau membawa bencana! Sama seperti Aphrodite.”,
jawabnya.
“Bagaimanapun juga, aku
tersanjung.”
“Kembalilah ke olympus, Rumi!
Jangan kau sakiti anak-anak manusia.”, tambahnya.
Aku tertawa terbahak! “Maksudmu meninggalkan
Rendra?” Ia mengangguk. “Maaf Paris, aku masih menyukainya. Dan sepertinya, Ia
bahagia bersamaku.”
“Aku mohon Rumi. Kau tidak
mencintainya seperti aku mencintainya.”
“Demi Aphrodite, Paris. Jangan
kau biarkan wanita sekelasmu, memohon demi laki-laki.”
“Karena aku tidak ingin ia terluka karenamu.”
“Kau gila! Tidakkah kau lihat bahwa aku memberinya surga?”
“Untuk berapa lama? Satu bulan? Satu tahun? Huh! Sia-sia aku menghabiskan waktu denganmu! Selamat tinggal Rumi!”, ujarnya sambil melenggang meninggalkanku.
“Sampai bertemu lagi, Paris.”.
Bibirku tersungging dan mataku masih mengikuti langkahnya menuju ke pintu
keluar. Tak lama kemudian, aku mulai menjejakkan kakiku ke jalanan aspal
setelah kukirimkan sebuah pesan untuk laki-laki yang sedang menungguku:
Aku bertemu ibumu. Ya, dia
menyeramkan persis seperti yang kau katakan.
Komentar
Posting Komentar