Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Hujan di Warung Kopi

Gambar
Pukul 17.10 kulihat sosoknya yang membuka pintu kemudian mengayunkan kakinya yang jenjang menuju ke arahku. Seperti biasa double shot cappuccino yang nanti akan ditenggaknya perlahan hingga 10 menit setelah pukul 7 dimana dia akan meninggalkan cangkir kosongnya beserta 4 puntung rokok. Terkadang 5 bahkan 6 puntung ia sisakan, tapi sering kali 4. Aku menyebutnya 'Hujan', tentu saja bukan nama sebenarnya. Aku tidak berniat lancang untuk mengganggunya dengan mencari tahu namanya, pekerjaannya, atau nomor ponselnya. Aku sudah mengagumi diriku yang berani menatapnya dari balik meja kasir atau tersenyum padanya setiap kali dia memandangku, yang jujur saja sangat jarang dilakukannya. Hujan datang setiap hari kerja, kutebak dia bekerja tak jauh dari warung kopi kami. Pakaiannya formil, layaknya para pekerja di gedung-gedung bertingkat, dengan sepatu hitam mengkilapnya. Jalannya tidak pernah berbunyi “tok tok tok” seperti para wanita yang memakai sepatu hampir sama, tapi l...

She is Jill

Jillian.. Aku memandangnya kala itu. Matanya mendelik marah, dibiarkan rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Aku terkejut melihatnya, namun tetap tersenyum. Kusibak rambut yang menutupi wajah cantiknya, namun Ia menoleh, tak ingin disentuh. "Keras kepala!", ujar si Ibu. Hanya dalam hitungan bulan, dia sudah menghela udara yang sama denganku. Dia berada di dalam ruanganku, menjadi anak didikku Matanya tak pernah lagi menatap marah, justru haus akan pengetahuan. "Bagaimana laba-laba bisa naik di tembok? Kenapa Jill tidak? Kalau tangan Jill ada delapan, Jill bisa naik ke tembok?" Aku dicerca ribuan pertanyaan akan setiap hal yang ditemukannya. Senyumnya tak pernah mengembang bila dipuji. Hanya secuil, dengan rona merah pada pipi. Jill, Jill.. Sebuah pujian tidak akan membuatmu besar kepala. Kemauannya tak bisa diganggu gugat. Segala rayuan ditolak mentah-mentah. Namun tidak ada yang salah dari menuruti keinginannya. Ia hanya ingin mengobservas...

Antara Kopi, Bapak, dan Aku

Gambar
Aku menghindari sorot mata pria paruh baya yang menyelidik menatapku, seakan mencari tahu apa yang ada dalam pikiranku. Kuarahkan mataku justru kepada pria berambut panjang yang sedang meracik kopi sambil bergerak mengikuti irama lagu, atau pada wanita yang menatap ke arah luar dengan pandangan kosong, seakan lupa pada rokok di sela-sela jarinya yang abunya sudah panjang. Diketukkan rokoknya pada asbak keramik yang tersedia di hadapannya tak lama kemudian, terlambat beberapa detik saja, abu akan mengotori sepatunya yang berwarna merah serupa dengan warna bibirnya. “Bagas, kamu mendengarku bukan?”, tanya pria di hadapanku memastikan. Aku mengangguk, tapi tetap memandangi suasana warung kopi ini. Pria-pria hilir mudik membawa cangkir kopi, baik yang kosong maupun tidak. Suasana dan beberapa wajah yang tidak asing lagi. “Sudah berapa lama?”, tanyaku dalam hati. Mungkin 6 bulan aku tidak kemari. Dan tidak ada yang berubah, bahkan penataan kursi dan mejanya. Aku mengenang sofa tepa...