Hujan di Warung Kopi
Pukul 17.10 kulihat sosoknya yang
membuka pintu kemudian mengayunkan kakinya yang jenjang menuju ke arahku.
Seperti biasa double shot cappuccino
yang nanti akan ditenggaknya perlahan hingga 10 menit setelah pukul 7 dimana
dia akan meninggalkan cangkir kosongnya beserta 4 puntung rokok. Terkadang 5
bahkan 6 puntung ia sisakan, tapi sering kali 4.
Aku menyebutnya 'Hujan', tentu
saja bukan nama sebenarnya. Aku tidak berniat lancang untuk mengganggunya
dengan mencari tahu namanya, pekerjaannya, atau nomor ponselnya. Aku sudah
mengagumi diriku yang berani menatapnya dari balik meja kasir atau tersenyum
padanya setiap kali dia memandangku, yang jujur saja sangat jarang
dilakukannya.
Hujan datang setiap hari kerja,
kutebak dia bekerja tak jauh dari warung kopi kami. Pakaiannya formil, layaknya
para pekerja di gedung-gedung bertingkat, dengan sepatu hitam mengkilapnya.
Jalannya tidak pernah berbunyi “tok tok tok” seperti para wanita yang memakai
sepatu hampir sama, tapi langkahnya selalu terdengar di telingaku. Rambut
sebahunya kerap kali digelung, tapi si anak rambut di sekitar dahi selalu
membebaskan diri dari ikatannya, membuatnya berantakan namun tetap memukau.
Hujan datang hampir selalu
sendiri. Terkadang dibawanya 1 atau 2 orang teman yang juga berpakaian satu
spesies dengannya. Hanya berbincang sebentar lalu ditinggalnya 'Hujan',
sendiri. Kuduga, dia bukan wanita yang kurang pergaulan. Dia selalu tersenyum
setiap kali berbicara, juga kepadaku, walau hanya ucapan “double shot cappuccino” dan “terimakasih”, tidak lebih.
Usianya kutafsir lebih tua
beberapa tahun dariku, kisaran 30 tahun. Tapi entahlah, aku kurang pandai dalam
menebak usia perempuan masa kini. Kukira 25 tahun ternyata 17 tahun, kukira
sudah bekerja tak tahunya masih mengenyam buku sekolah. Tapi Hujan tidak
mengenakan riasan berlebihan, hanya bibir merahnya yang selalu menarik
perhatian, ditambah senyumnya atau kepulan asap yang keluar darinya.
Kali ini, dengan sebatang rokok
yang masih menyala di sela jari-jarinya, ia kembali menatap keluar. Aku tidak
pernah mengerti apa yang selalu ia perhatikan. Untukku, tidak pernah ada yang
menarik di luar warung kopi ini. Lalu lalang kendaraan di jalanan, orang-orang
yang menunggu bus, atau pedagang gorengan di trotoar. Pernah kukira dia melihat
indahnya langit yang berubah warna kemerahan lalu menghitam kelam,
kutengadahkan kepala dan ternyata kudapati barisan gedung menutupi evolusi
warna langit. Apa mungkin dia memandang gedung-gedung yang tak pernah bergerak
itu?
Sore itu di bulan Juli, tiba-tiba
hujan datang menggemuruh. Aku sedikit terkejut mendapati hujan di bulan Juli,
tapi memang kini hujan datang sesuka hati layaknya perbuatan manusia kepada
alam yang seenak jidad. Tanpa adanya gelap awan atau angin yang berhembus
kencang seperti layaknya gejala hujan, hujan deras ini ternyata tidak berhenti
sekejap mata. Tapi siapa sangka, hujan ini membawa hujan yang lain kepadaku.
Dengan wajah cemas, setelah menghabiskan batang rokoknya yang ke-6, Hujan sedikit berlari menghampiriku. Aku tertegun dengan keberadaannya yang mendadak di hadapanku, dan dengan bodohnya tidak menyimak satu katapun yang diucapkannya. Dia mengulangi perkataannya sambil menertawai wajahku yang pasti terlihat linglung, “Boleh pinjam payung sebentar?”.
Sepayung berdua, aku dan Hujan
berjalan di bawah derasnya hujan menuju jalan raya. Berulang kali ia memohon
maaf karena dipikirnya telah merepotkan aku. Padahal ini sungguh kemauanku,
bahkan di luar ekspektasi untuk berada lebih dekat dengannya tanpa dihalangi
meja kasir.
“Kenapa kau panggil aku Hujan?”,
tanyanya saat kulontarkan panggilan Hujan tanpa sadar.
“Karena aku sering kali melihat
rintik hujan membasahi pipi bahkan terkadang menetes di cangkir kopimu.”
Di atas trotoar, sembari menunggu
kedatangan bus, kami bercakap lebih dari sekedar pelayan dan pelanggan.
Pada akhirnya ia berkata, “Sepertinya
kau benar. Aku selalu menanti hadirnya matahari yang seharusnya menjemputku
pukul 7. Tapi dia tak pernah datang lagi.”.
Sore itu, menjadi kali terakhir
aku melihat Hujan. Tidak pernah lagi kudapati rintik hujan yang menetes di double shot cappuccino, hembusan asap
yang mengepul dari bibir merahnya, atau kudengar langkah kakinya menghampiri
mejaku. Hujan tidak datang, baik di bulan Juli ataupun bulan-bulan lainnya.
Komentar
Posting Komentar