Antara Kopi, Bapak, dan Aku
Aku
menghindari sorot mata pria paruh baya yang menyelidik menatapku, seakan
mencari tahu apa yang ada dalam pikiranku. Kuarahkan mataku justru kepada pria
berambut panjang yang sedang meracik kopi sambil bergerak mengikuti irama lagu,
atau pada wanita yang menatap ke arah luar dengan pandangan kosong, seakan lupa
pada rokok di sela-sela jarinya yang abunya sudah panjang. Diketukkan rokoknya
pada asbak keramik yang tersedia di hadapannya tak lama kemudian, terlambat
beberapa detik saja, abu akan mengotori sepatunya yang berwarna merah serupa
dengan warna bibirnya.
“Bagas, kamu
mendengarku bukan?”, tanya pria di hadapanku memastikan.
Aku
mengangguk, tapi tetap memandangi suasana warung kopi ini. Pria-pria hilir
mudik membawa cangkir kopi, baik yang kosong maupun tidak. Suasana dan beberapa
wajah yang tidak asing lagi. “Sudah berapa lama?”, tanyaku dalam hati. Mungkin
6 bulan aku tidak kemari. Dan tidak ada yang berubah, bahkan penataan kursi dan
mejanya. Aku mengenang sofa tepat di samping jendela kaca, dimana aku dan
wanita berambut keriting biasa melihat lalu lalang orang-orang baik di dalam
maupun di luar warung kopi ini.
“Bagaimana
pendapatmu? Jawab bapak, Bagas!”, pinta pria di hadapanku yang membuyarkan
kenanganku.
Kini ia muncul
di hadapanku, meminta dianggap sebagai ayah, setelah bertahun-tahun ketidak
hadirannya menghantuiku. Aku tersenyum bimbang, bagaimana sebaiknya aku
menanggapi.
“Bukan
urusanku, pak. Lebih baik bicara sama Ibu.”, ujarku.
Kini ucapanku
tampak menamparnya. Aku yakin, pria yang tergolong kekar di usianya yang
setengah abad ini akan merasa segan jika kusebut nama ibu. Wanita yang berulang
kali dibuatnya menangis sembunyi-sembunyi. Sosok tegar yang selalu membohongiku
akan keberadaan bapak hingga aku besar dan tahu apa yang dinamakan
perselingkuhan.
“Kamu kan tahu
bagaimana hubungan bapak dan ibu. Maka dari itu, bapak meminta tolong padamu.”,
ujarnya memelas kali ini.
“Entahlah pak!
Tidak ingin aku membuka luka lama ibu, membuatnya menangis lagi karena bapak.”,
jawabku cenderung sinis.
Aku mengingat
bagaimana mudahnya ia berjanji padaku, seperti janji-janji kosongnya pada Ibu.
Aku melihatnya di pasar swalayan kala itu, sedang merangkul wanita yang
menggelayut manja di lengannya, di hari seharusnya ia membelikanku sepatu
seperti yang dijanjikannya. “Ibu, itu bapak!”, ujarku sambil menunjuk ke arah
bapak saat itu. Ia terkejut, dan langsung lari terbirit-birit sambil
menggandeng tangan wanita asing itu. Kurasakan tangan ibu bergetar
menggandengku, wajahnya pucat pasi lalu tak lama tersenyum memandangku “Bukan,
tadi bukan bapak. Salah orang kamu.” Malamnya, aku mendengar isak tangis ibu di
dalam kamar.
Pria satu ini,
walaupun sosoknya tidak pernah hadir secara nyata di kehidupanku, namun
kusadari memiliki pengaruh besar terhadapku. Ketakutanku akan menjadi lelaki
yang kurang lebih sama sepertinya, membuatku selalu gagal dalam menjalin
hubungan. Aku tidak pernah ingin membuat seorang wanita menangis karenaku,
seperti ibu menangis karena bapak. Namun kali itu, seorang wanita berambut
keriting akhirnya tak kuasa menahan tangis karenaku.
Wanita itu
bernama Gandes, berarti anggun dalam kamus Bahasa Jawa. Perawakannya memang
mewakili namanya, dengan rambut keriting yang membingkai wajahnya. Tawanya
meriah, membuat yang mendengar ikut tersenyum. Ia junior di kampusku. Berawal
dari pertanyaan-pertanyaan seputar skripsi karena mengambil tema yang sama
dengan skripsi yang kubuat sebelumnya, hubungan kamipun berganti status dari
teman menjadi kekasih.
Di warung kopi
ini kami kerap bertemu. Ia akan menantiku selesai bekerja, di sofa samping
jendela kaca. Aku kerap mengamati wajah seriusnya di balik laptop, membuat
lelucon tentangnya. Dia tak pernah marah bila kuejek, bahkan kerap mengejekku
balik. Amarahnya memuncak suatu hari, saat kusudahi hubungan kami. “Bagaimana
mungkin kau katakan takut akan menyakitiku, bila saat inipun kau sedang
menyakitiku? Kau paranoid, Bagas! Kau takut akan hal yang belum, bahkan mungkin
tidak akan terjadi.”, ledaknya kali itu.
Mungkin benar,
aku terlalu paranoid. Ketakutanku akan penghianatan yang mungkin kelak aku
lakukan, menutupi akal sehatku. Atau mungkin sebaliknya, keanggunannya, paras wajahnya,
gerak tubuhnya dan helai lembut rambutnya yang justru selama berbulan-bulan menutupi
pikiran logisku. Aku terombang-ambing, dengan naif kukatakan tak ingin
membuatnya bersedih tetapi Ia justru menangis di hadapanku. Kukatakan bahwa
banyak pria yang lebih pantas untuknya, namun aku tak bisa membayangkan dirinya
berada di sisi pria lain.
“Ibu bertemu
Gandes tadi siang.”, ujar Ibu beberapa minggu yang lalu. Ibu adalah salah satu
pengagum daya tarik Gandes. Aku tak sanggup menatap Ibu, belum sedikitpun aku
bicara mengenai apa yang terjadi pada hubungan kami, yang pernah ibu
sanjung-sanjung.
“Ibu juga tidak bodoh sekali, Bagas. Ibu tahu kalian berpisah, yang tidak Ibu tahu bahwa kamu terlalu khawatir untuk menyakiti dia. Gandes yang memberi tahu ibu tadi siang.”, ujar ibu menegaskan.
“Aku tidak ingin seperti bapak.”, ujarku
“Bapakmu itu lain kasus, Bagas. Dia hanya belum menemukan wanita yang tepat, sehingga matanya masih mencari malaikat yang bisa memenuhi hatinya. Jangan kau samakan dirimu dengan bapakmu.”, jawab Ibu.
Dan saat ini, kulihat bapak di depan mataku. Menatapku bimbang namun penuh selidik. Aku yakin suatu saat hal ini akan terjadi, pernikahan Bapak dengan wanita lain. Setelah lama bercerai dari Ibu, kudengar ia bergonta-ganti pasangan, tapi tak ada satupun yang dinikahinya. Kini ia akan menikah, dan lucunya meminta kehadiranku dan Ibu, sebagai permohonan pengantin wanita rupanya.
“Tidakkah kau katakan, bagaimana hubunganmu dengan mantan istri dan mantan anak, pada istri baru bapak?”, ujarku sinis.
“Calon istri, Bagas. Dan mana ada mantan anak, di dunia ini? Ia hanya ingin kehadiran keluarga besar, termasuk kau dan ibumu sebagai simbol kalian merestui pernikahan kami.”, jawab bapak.
“Akan aku tanya ibu.”, ujarku sambil menghela napas panjang dan mengalihkan perhatian pada pintu masuk. “Jika aku ingat.”, tambahku, sesaat sebelum pintu terkuak.
“Sore mbak Gandes.”, ujar salah satu pelayan kopi yang sedari dulu mengenalnya.
Ia tersenyum
pada pria yang menyapanya, kemudian melangkahkan kaki jenjangnya mendekati kami
dan terdiam di tengah jalan saat memandangku. “Bagas?”, bisiknya tanpa suara. Dia
menatapku ragu, seolah aku tak nyata. Rupanya, dia lebih tegar menghadapi
perpisahan kami, daripadaku. Aku bahkan tak pernah sanggup menginjakkan kaki ke
warung kopi yang memenuhi sebagian besar ingatanku tentangnya.
Rambut keritingnya dibiarkan terurai di punggungnya, riasan pada wajahnya kini lebih terlihat daripada dulu ketika bersamaku. “Aku lebih suka melihat rona merah alami pada pipimu dan bibirmu. Make up seolah simbol kepalsuan yang dipaksakan.”, ujarku suatu hari sambil ku angkat dagunya dan kukecup keningnya, ketika dia memaksa akan menggunakan riasan sebelum berkencan.
“Kebetulan dia datang. Bagas, ini calon istri bapak.”, digenggamnya tangan lembut dengan jari-jari yang lentik gadis yang sedang terpaku menatapku, dan diarahkannya tangannya kepadaku.
Duniaku berputar, dari jutaan populasi pria di dunia ini, kenapa bapak yang dipilih Gandes untuk membangun keluarga? Bapak lagi, bapak lagi!
Komentar
Posting Komentar