Ketika Jaka Bertemu Pasta
Aku meratapi matahari yang pancaran sinarnya sempat menusuk mataku,
merasuk lewat jendela kaca disampingku. Baru beberapa saat yang lalu sosoknya
menghadirkan kehangatan, kini memancarkan pesonanya, meminta untuk dipandang
dan diperhatikan, dan kelak akan menghilang bila tiba saatnya. Aku berjumpa
dengan sosok semacam ini, yang rimbanya kini entah berada dimana.
Aku mengeluh dalam peluh, sisa semalam yang belum habis karena
merindunya. Kugosokkan kain lap pada meja-meja yang nantinya akan ditumpahi
tetesan-tetesan kopi atau serbuk abu rokok oleh para pelanggan, pembantaian
pada para pengukir yang karyanya dicurahkan untuk meja di warung kopi ini. Selama
berbulan-bulan, kegiatan membersihkan campuran debu, abu, dan kopi menjadi hal
yang kutunggu karena sosoknya yang menungguku di meja nomor 23 dengan senyumnya
di balik laptop yang memamerkan gigi
putihnya.
Mungkinkah dia di negeri seberang sana, mencari ilmu yang katanya tak
akan didapatkan disini? “Jaka, suatu hari nanti, aku akan ke Italia belajar
pada para pembuat pasta untuk menjadi the
best pasta maker di Indonesia.”, ujarnya kala menunjukkan semua foto yang
terpampang di dinding kamarnya. Mungkin kini ia berada di atas gondola,
menelusuri jalanan di Venisia atau saat aku kini memandang gedung pencakar langit
di ibukota, mata besarnya sedang bersinar memandangi gedung miring buatan
arsitek sinting.
Jika saja aku tahu aku akan kehilangan belaian lembut tangannya yang
selalu sedia mengusap peluh karena letihku, baik setelah melayani para pecandu
kopi atau setelah melayani gejolaknya di atas ranjang, aku akan selalu
menggenggam tangannya, tidak akan kubiarkan lepas. Kuusap keringatku yang kini
mulai bercucuran di dahi dengan tanganku sendiri, terdengar sayup-sayup suara
tangisan di belakang meja nomor 23.
Di meja yang sama dahulu, aku terpukau pada senyum manisnya untuk yang
pertama kali, ketika kuhadirkan ice moccachino kegemaranya di samping komputer yang selalu dijinjingnya.
Suaranya seakan mengobarkan semangat setelah semua lelah yang merayap di setiap
sendi. “Karyawan baru mas?”, tanyanya, membuatku bangga seolah hadirku
menghinggapi sudut matanya yang besar dilindungi oleh bulu matanya yang
panjang.
Percakapan-percakapan yang muncul setelah pertemuan pertama kami di
warung kopi, menghadirkan sosoknya yang melekat di pikiranku. Wanita
metropolitan dengan ambisi yang tinggi. “Jangan pernah merasa puas, Jaka.
Jangan lantaran bekerja di ibukota lalu kamu tidak memperkaya diri! Jangan
pernah, Jaka!”, nasihatnya menggerayangi mimpiku. Ia lebih muda 2 tahun dariku,
duduk di bangku kuliah, namun cara berpikirnya melebihi ketua desa di tempat
lahirku, lingkungan memang mempengaruhi cara pandang setiap insan.
Disuguhkannya sebuah buku ketika aku menyuguhkan hot moccachino suatu siang. Setiap hari, tanpa henti ditanyakannya
pendapatku mengenai segala isi yang telah kubaca. Cepat-cepat kuselesaikan
supaya urusan tanya-jawab buku selesai, ternyata buku-buku lain telah menanti
setelahnya. “Orang yang membaca buku memang belum tentu pintar, tapi orang
pintar pasti gemar membaca. Buku menyajikan dunia di hadapan kita, Jaka.” Suatu
kali kutanyakan, mengapa ia memaksakan kehendaknya padaku, dan wanita impulsif
inipun menjawab “Kau berpotensi, Jaka. Sayang, kalau hanya menjadi pesuruh di
warung kopi.”
Bukan hanya buku, segala adonan tepung yang dinamakan pasta juga dihadapkannya
padaku. Kini aku mengerti perbedaan mie dan spaghetti
atau bahkan jenis lain seperti lasagna
dan ravioli. Dahulu diceritakannya ia
menemukan sebuah warung Italia yang menyajikan pasta terbaik yang pernah dicoba
di pulau Bali, tapi si Italiano pemiliknya kemudian meninggal tanpa
meninggalkan resep pada anak cucunya, dan disaat itulah wanita ibukota itu terobsesi
pada pasta dengan rasa yang sama seperti yang dicobanya di pulau Dewata.
“Apa hanya ada pasta dan Italia di dalam kepalamu itu?”, tanyaku suatu
hari.
“Tentu saja tidak, saat ini kamu juga menggerayangi isi otakku.” Ia
tersenyum menatap dalamnya mataku, mendekatkan wajahnya padaku. Kurasa untuk
pertama kalinya, aku mengerti apa yang seharusnya kulakukan dihadapan wanita
terlanjur dewasa itu. Kemudian, jeritan dan desahan menjadi suara latar kami
sepulang aku bekerja, di kamar kos kami berganti-gantian.
Di kamar kos miliknya, setelah berhari-hari tak kulihat senyumnya atau
kudengar suaranya memecahkan dering sambung telepon, aku menyadari lenyapnya
sosoknya. Kamar itu dibiarkan kosong, tanpa ada bekas jejak-jejak kehadirannya.
Tidak ada poster atau foto yang seharusnya menempel di dinding. Tidak tercium
bau semangit keju simpanannya. Ia hilang bagai tersambar petir.
Dan yang kusesalkan adalah pertengkaran kami terakhir kali. Kali pertama
kulihat ia merengek seperti bayi, kesal karena hal yang tak dapat dihindari.
“Jangan kau salahkan aku atas kondom yang bocor. Mungkin ini kemauan Tuhan.”,
ujarku membela diri. Tak dapat kumengerti emosinya yang memuncak kala itu,
setelah Ia sendiri yang berada di puncak. “Mana ada Tuhan merobek kondom. Kau
yang tidak hati-hati, Jaka!”.
Kutawarkan sebuah ikatan pernikahan sebagai bentuk tanggung jawab atas
kecerobohanku. Aku bangga pada kejantanan diriku, tapi tidak untuknya. “Kau
gila, Jaka. Banyak mimpiku yang harus tertunda hanya karena pernikahan. Kau
gila!”. Aku menegaskan bahwa ia tetap bisa meraih mimpinya, Italia-nya, atau
pasta-nya dan tak akan ada yang melarangnya. Aku tidak mengerti dimana letak
kesalahanku. ”Apa yang salah dari menikahimu, meminta sebagian kecil dari
hidupmu untuk bersanding denganku?”
“Sejujurnya Jaka, apa yang kau punya untuk menikahiku? Kau tau impianku,
dan kau juga tau betapa besar biaya dan pengorbanan untuk meraih impianku.
Pernikahan dan anak hanya akan menjadi beban untukku.”
Harga diriku terhina! Banyak wanita mengantre untuk menikah denganku di
desa, wanita kota ini justru menolakku mentah-mentah. Dengan penuh emosi aku
melangkahkan kakiku ke pintu keluar dan tak lupa membanting pintu. Hanya satu
hari penuh emosi, berbulan-bulan kemudian aku menyesal.
Kini suara tangisan di meja nomor 23 semakin terdengar, kulangkahkan
kakiku mencari asal suara. Seketika langkahku terhenti melihat seonggok selimut
yang bergerak-gerak disamping tas besar di atas meja. Aku berlari secepatnya
dan menemukan sumber suara tangis yang mengganggu aktivitas pagi di warung
kopi. Makhluk kecil berbola mata besar dengan bulu matanya yang lentik, kini
berada dalam dekapanku. Dengan sehelai kertas bertuliskan “Jaka, kuberikan
padamu yang kau pinta, sebagian dari diriku.”
Kunamai ia
Pasta.
Komentar
Posting Komentar