Hujan di Warung Kopi
Pukul 17.10 kulihat sosoknya yang membuka pintu kemudian mengayunkan kakinya yang jenjang menuju ke arahku. Seperti biasa double shot cappuccino yang nanti akan ditenggaknya perlahan hingga 10 menit setelah pukul 7 dimana dia akan meninggalkan cangkir kosongnya beserta 4 puntung rokok. Terkadang 5 bahkan 6 puntung ia sisakan, tapi sering kali 4. Aku menyebutnya 'Hujan', tentu saja bukan nama sebenarnya. Aku tidak berniat lancang untuk mengganggunya dengan mencari tahu namanya, pekerjaannya, atau nomor ponselnya. Aku sudah mengagumi diriku yang berani menatapnya dari balik meja kasir atau tersenyum padanya setiap kali dia memandangku, yang jujur saja sangat jarang dilakukannya. Hujan datang setiap hari kerja, kutebak dia bekerja tak jauh dari warung kopi kami. Pakaiannya formil, layaknya para pekerja di gedung-gedung bertingkat, dengan sepatu hitam mengkilapnya. Jalannya tidak pernah berbunyi “tok tok tok” seperti para wanita yang memakai sepatu hampir sama, tapi l...